Trafficking, Status Sosial Hingga Stereotip dalam Novel Amoi Karya Mya Ye

Wa Ode Siti Sabania (FOTO : IST)

BeritaRakyat.id, Kendari – Mei 1998 merupakan bulan bersejarah yang tidak dapat ditampik oleh masyarakat Indonesia, khususnya etnis Tionghoa. Bagaimana tidak, alih-alih menebar nasionalisme sejati, masyarakat Indonesia diprovokasi oleh pihak pemerintah yang berupaya melanggengkan posisinya dengan cara menanamkan sifat-sifat radikalisme, sehingga yang terjadi adalah kesenjangan sosial dan ekonomi antara masyarakat pribumi dengan etnis-etnis lain, termasuk etnis Tionghoa.

Kebijakan pada masa Orde Baru juga membuat banyak orang Tionghoa harus menanggalkan identitasnya. Sisa-sisa rasialisme dari banyaknya peristiwa yang melibatkan etnis Tionghoa di Indonesia pun dimasukan dalam novel Amoi karya Mya Ye.

Mya Ye mencoba membantah rasialisme yang masih mengakar tentang etnis Tionghoa yang dikenal menguasai lahan perekonomian. Tidak hanya itu, ia juga menjadikan tokoh utama Shintia sebagai dampak dari langgengnya propaganda orde baru terhadap etnis Tionghoa serta mengangkat fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekeliling kita.

Dalam novel Amoi, Shintia digambarkan sebagai tokoh utama yang lahir dalam keluarga Tionghoa modern dan sama sekali tidak mengenal tradisi nenek moyangnya. Sehingga ketika Shintia beranjak dewasa, rasa keingintahuannya untuk mengenal adat dan tradisi Tionghoa pun mulai muncul.

Shintia kemudian bertemu dengan Lee Mei Fang (seorang perempuan yang berasal dari Singkawang atau dikenal sebagai kota pariwisata dengan nuansa etnik China) di gedung teater taman Ismail Marzuki. Pertemuannya dengan Lee Mei Fang menjadi pembuka jalan baginya sekaligus menjawab rasa penasaran terhadap identitasnya.

Sesudah meminta restu orang tua, Shintia akhirnya pergi mengunjungi kota Singkawang. Ia dijemput oleh sahabat masa kecil Lee Mei Fang, Bong Su Yin. Saat mengelilingi kota, Shintia dibuat takjub dengan pemandangan Singkawang yang mengikuti perkembangan zaman namun tidak kehilangan sisi keanggunan masa lalunya. Hal itu dapat ia lihat dari patung naga raksasa yang seolah menjaga kedamaian kota Singkawang, pak kung yang tersebar di setiap sudut jalan, sampai sebuah rumah tua besar bergaya China kuno.

Shintia kemudian memutuskan untuk menetap selama 6 bulan ditemani seorang perempuan remaja bernama A Cu. Dari sinilah ia melihat secara langsung keadaan kota yang masih mempertahankan identitasnya serta fenomena-fenomena sosial lainnya.

Novel ini membuat kita seperti diantar mengenal setiap masalah dari tokoh yang berbeda. Tokoh Bong Su Yin adalah seorang perempuan dewasa yang sudah menikah, ia juga terlahir dari keluarga yang terbilang cukup secara materi. Sehingga lewat Bong Su Yin, Shintia mendapatkan pengetahuan tentang identitasnya, seperti; perayaan-perayaan cap gomeh, barongsai, liong, makanan khas etnis Tionghoa, beribadah di pak kung, serta adab berpakaian saat menghadiri acara tertentu.

Bong Su Yin juga menegaskan bahwa perayaan-perayaan hingga beribadah di pak kung bukanlah identitas agama tertentu yang di bawa oleh etnis Tionghoa, melainkan tradisi yang sudah lama ada dan masih dipertahankan hingga saat ini.

Menariknya, lewat Bong Su Yin pembaca akan menyadari bahwa tradisi etnis Tionghoa sangat asing di telinga, mata, dan kehidupan di sekeliling kita. Kendati etnis Tionghoa sudah lama menetap di Indonesia, mereka masih seperti “orang asing” bagi masyarakat pribumi. Bukan tanpa sebab, kebijakan pada masa Orde Baru yang ditetapkan lewat Inpres No. 14/1967 membuat ruang gerak etnis Tionghoa sangat sempit. Segala upacara keagamaan, adat istiadat dan perayaan-perayaan lainnya hanya diperbolehkan dalam ruang internal saja.

Pemerintah juga memutuskan ikatan orang-orang Tionghoa dengan leluhur mereka melalui penggantian nama, mewajibkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI), hingga sekolah-sekolah yang mengajarkan kebudayaan Tionghoa harus ditutup. Tidak heran, implikasi dari kebijakan tersebut masih terasa hingga saat ini walaupun Keppres No. 6/2000 tentang pencabutan Inpres No. 14/1967 telah membuka kembali pintu kebebasan bagi etnis Tionghoa.

Tidak sedikit orang Tionghoa yang tidak mengetahui asal-usulnya, begitu pula yang di rasakan oleh Shintia dalam keluarganya, ia merasa krisis identitas.

Melalui Bong Su Yin, sisa-sisa rasialisme berbentuk stereotip seperti “China pasti kaya”, “China pasti pelit”, “China pasti licik dan tidak tahu aturan” dibantah dengan keadaan masyarakat Singkawang. Mayoritas penduduknya terimpit kemiskinan, namun mereka tetap menjadi orang yang patuh pada nasehat orang tua. Rasialisme ini berangkat dari keambiguan pemerintahan Orde Baru, di satu sisi mereka menyediakan ruang investasi untuk dinikmati bagi sekelompok orang Tionghoa, namun disisi lain diskriminasi terus dilancarkan hingga menimbulkan sentimen kepada masyarakat pribumi.

Sekelompok orang yang difasilitasi seolah merepresentasikan seluruh etnis Tionghoa, menciptakan stereotip negatif tentang orang Tionghoa yang selalu unggul dalam perekonomian. Sebaliknya dalam novel Amoi, Etnis Tionghoa yang hidup di Singkawang membantah stereotip tersebut. Sedangkan melalui tokoh A Cu, Shintia dikenalkan dengan beberapa teman sepantaran A Cu yang selain bergumul dengan kemiskinan, mereka juga menunjukkan masalah tersendiri.

A Cu dan teman-temannya mempunyai alasan masing perihal tidak melanjukan untuk mengenyam pendidikan di jenjang SMP bahkan sampai perguruan tinggi. Padahal, sekolah di Singkawang tidak memungut biaya sama sekali. Tempat sekolah tidak layak pun tak jarang ditemukan di Singkawang. A Cu, Siat Phin dan Siau Fong berpikir bahwa kebutuhan hidup mereka dan orang tua lebih diutamakan dari pada asupan ilmu pendidikan. Para orang tua telah mencecoki anaknya agar menikah diusia dini.

Selain itu, orang tua juga menganggap anak perempuannya tidak akan menemukan pasangan apabila lebih mengejar pendidikan. Dengan berbagai pengekangan dan hanya berbekal pengetahuan yang didapatkan di Sekolah Dasar, maka alasan orang tua mereka dirasa cukup untuk melihat masa depan.

Dari pertemuan Shintia, Acu dan teman-temannya, pembaca akan diperlihatkan pada beberapa fenomena, yaitu trafficking (perdagangan) dan kekerasan. Dalam tradisi kuno Singkawang, kelahiran anak perempuan tidak diharapkan karena perkara marga yang akan diwariskan. Namun dewasa kini, tradisi kuno itu tidak lagi dipersoalkan.

Hanya saja anak perempuan dijadikan komoditi yang dapat mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Para Amoi di Singkawang sangat jarang menikah pemuda sekitar. Sebab karena bergumul dengan kemiskinan, mereka percaya bahwa menikah dengan lelaki yang sama-sama dari Singkawang tidak memperbaiki keterpurukan ekonomi. Sebaliknya, menikah dengan orang Taiwan atau warga asing lainnya dapat dapat membantu ekonomi keluarga.

Proses trafficking dapat dilihat dari banyaknya pihak yang terlibat saat pernikahan pesanan terjadi. Pihak-pihak tersebut adalah perantara (mak comblang) yang akan mencari amoi dari tingkat ekonomi rendah dan mempertemukannya dengan laki-laki Taiwan yang menjanjikan uang mahar cukup besar. Keberlangsungan pernikahan juga ditentukan oleh laki-laki Taiwan ketika merasa cocok dengan Amoi yang dijumpainya, namun jika tidak pernikahan pesanan dapat dibatalkan.

Dalam novel Amoi, perdagangan perempuan Tionghoa dikemas cukup rapi dalam pernikahan pesanan. Hal ini terjadi karena beberapa sebab; (1) kemiskian yang menghambat terpenuhnya kebutuhan hidup sehari-hari, (2) kemiripan leluhur yang dipercaya dapat menguatkan persaudaraan, (3) alih-alih berbakti, orang tua justru mendorong sang anak menikah dengan alasan untuk membantu perekonomian keluarga, (4) pendidikan yang sangat minim sehingga perkawinan pesanan tidak menjadi sesuatu yang harus dipertimbangkan.

Novel ini kemudian ditutup dengan memperlihatkan kondisi rumah tangga yang semena-mena terhadap perempuan Tionghoa, Shintia yang melanjutkan kuliahnya di Belanda, dan bagaimana mereka harus bertahan hidup di negeri orang.

Penulis merupakan mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *